22 November 2025

Get In Touch

Demam Sourdough, dari Taylor Swift Tren Roti Sehat Kembali Digandrungi

Demam Sourdough, dari Taylor Swift Tren Roti Sehat Kembali Digandrungi

Taylor Swift sedang terobsesi dengan satu makanan yang membuatnya tak bisa berhenti menyantap. Baru-baru ini, pelantun lagu 'The Fate of Ophelia' itu mengungkan bahwa dia sangat suka roti.

Bukan roti biasa, melainkan roti sourdough yang memiliki tekstur sedikit chewy dengan citarasa agak asam. Kabar baiknya, untuk kamu yang juga ingin mencoba camilan favorit ini, roti sourdough lebih sehat dibandingkan roti tawar putih.

"Sourdough telah mengambil alih hidupku. Aku benar-benar membicarakan roti itu dalam 60% keseharianku," tuturnya saat hadir di salah satu episode podcast kekasihnya Travis Kelce, 'New Heights'.

Kutipan itu sontak menjadi pembicaraan dunia maya. Penggemar mempertanyakan bagaimana roti bisa membuat seorang penyanyi pemenang Grammy begitu terpikat, sementara para penggiat kesehatan merasa inilah momentum baru untuk mengedukasi masyarakat tentang salah satu jenis roti tertua di dunia.

Namun di balik fenomena selebritas itu, sourdough memang memiliki cerita panjang, lebih panjang dari kebanyakan tradisi kuliner modern, lebih menarik dari sekadar roti asam bertekstur kenyal.

Sourdough pada dasarnya adalah roti yang dibuat dari bahan sederhana, tepung, air, dan garam. Namun yang membuatnya berbeda dari roti biasa adalah sumber ragi. Roti tawar modern menggunakan ragi instan yang dikembangkan melalui industri pangan, sementara sourdough mengandalkan starter, campuran tepung dan air yang dibiarkan terfermentasi secara alami oleh ragi liar (wild yeast) dan bakteri asam laktat yang terdapat di lingkungan sekitar.

Proses fermentasi ini biasanya berlangsung sekitar satu minggu. Dalam periode itu, mikroorganisme berkembang secara alami, memecah protein, karbohidrat, dan zat anti-nutrisi yang biasanya membuat sebagian orang sulit mencerna roti. Fermentasi panjang inilah yang kemudian menghasilkan cita rasa sourdough yang khas, sedikit asam, sedikit earthy, dengan aroma gandum yang lebih kompleks.

Karena prosesnya yang organik, sourdough sering dianggap sebagai roti “hidup”. Setiap starter memiliki karakter berbeda tergantung suhu, kelembapan, jenis tepung, dan mikrobioma lingkungan pembuatnya. Hal ini membuat sourdough buatan rumah seseorang dapat terasa berbeda dari sourdough toko roti di kota lain atau negara lain.

Tidak heran jika sourdough dianggap bukan hanya produk makanan, tetapi juga karya seni yang diciptakan oleh alam, bakteri, dan sedikit campur tangan manusia.

Ketertarikan Taylor Swift terhadap sourdough mungkin terdengar sederhana, bahkan sepele. Namun di balik itu ada pola konsumsi baru di kalangan selebritas, kembali ke makanan alami, proses panjang, dan pendekatan slow living untuk meredam tekanan kehidupan modern.

Swift bahkan mengaku sering menyantap sourdough dengan berbagai topping, selai lemon, blueberry, bubuk kayu manis, hingga taburan meises warna-warni. Bagi sebagian orang, kombinasi itu mungkin terdengar eksperimental, tetapi bagi Swift, sourdough adalah ruang eksperimen kecil yang menenangkan di tengah jadwal padat dan dunia yang terus menyorot setiap geraknya.

Yang menarik, fenomena ini menggambarkan bagaimana tren makanan dapat berubah drastis ketika seorang figur publik ikut menikmati dan mengangkatnya. Setelah pernyataan Swift viral, pencarian daring tentang sourdough melonjak, toko roti artisan ramai pesanan, dan banyak pembuat roti rumahan membagikan resep starter mereka di media sosial.

Namun Taylor Swift hanyalah pintu masuk. Di balik hype tersebut, sourdough memang menyimpan banyak alasan untuk dicintai, dari manfaat kesehatan hingga sejarah panjang yang membentuk budaya kuliner dunia.

 

Dari Mesir ke Dunia Modern

Perjalanan sourdough dimulai jauh sebelum peradaban modern menguasai dunia. Menurut catatan sejarah, sourdough sudah dibuat sejak sekitar 1500 SM di Mesir. Konon, adonan roti yang dibiarkan semalaman secara tak sengaja terpapar ragi liar, sehingga terfermentasi dan mengembang lebih baik daripada adonan roti sebelumnya.

Penemuan tidak sengaja itu kemudian berkembang menjadi teknik yang diwariskan turun-temurun, menyebar ke Eropa, Asia, dan kemudian ke seluruh dunia. Selama ribuan tahun, sourdough adalah satu-satunya cara membuat roti beragi.

Hingga abad ke-19, keberadaan ragi komersial belum dikenal. Baru pada 1857, Louis Pasteur menemukan teknik untuk mengisolasi ragi dan memproduksinya secara massal. Sejak saat itu, roti instan menjadi populer karena lebih cepat dibuat, lebih stabil, dan cocok untuk industri pangan berskala besar.

Namun ada harga yang harus dibayar. Proses pembuatan roti yang serbacepat membuatnya kehilangan kompleksitas rasa dan sebagian nutrisi yang biasanya hadir dalam fermentasi alami. Di sinilah sourdough kembali bersinar: sebagai alternatif yang lebih alami, lebih kaya rasa, dan lebih baik bagi pencernaan.

Mungkin tidak banyak yang menyangka bahwa di balik potongan roti sourdough terdapat proses mikrobiologis yang kompleks. Starter sourdough terdiri dari dua elemen utama, ragi liar (wild yeast) dan bakteri asam laktat. Keduanya bekerja sama memfermentasi gula dari tepung, menghasilkan karbon dioksida yang membuat adonan mengembang.

Fermentasi juga memecah zat anti-nutrisi seperti fitat yang terdapat dalam biji-bijian. Pencernaan manusia sering kesulitan mengolah fitat, sehingga banyak roti modern menyebabkan perut begah atau terasa berat. Pada sourdough, fitat diurai sehingga nutrisi lebih mudah diserap tubuh.

Selain itu, sourdough menghasilkan senyawa asam organik yang membuat indeks glikemik roti menjadi lebih rendah. Artinya, gula dilepaskan secara perlahan ke dalam aliran darah sehingga tidak memicu lonjakan gula darah secara tiba-tiba.

Beberapa studi juga menemukan bahwa sourdough mengandung peptida yang mampu menghambat enzim ACE, mekanisme yang mirip dengan kerja obat tekanan darah. Ini tentu bukan klaim bahwa sourdough dapat menggantikan obat medis, tetapi menunjukkan bahwa fermentasi alami memberi manfaat fisiologis yang cukup signifikan.

Tidak berhenti di situ, sourdough juga berfungsi sebagai prebiotik. Serat dan senyawa organik di dalamnya memberi makan bakteri baik dalam usus, mendukung keseimbangan mikrobioma, dan mengurangi peradangan tubuh.

Dari sisi rasa, fermentasi panjang memberi sourdough aroma asam yang khas, tekstur chewy yang lembut, dan kulit luar (crust) yang renyah, karakteristik yang sulit ditiru oleh roti modern.

Kebangkitan sourdough sebenarnya dimulai beberapa tahun lalu ketika banyak orang mencoba membuat starter di rumah. Pandemi global bahkan mempercepat tren ini. Terjebak di rumah, banyak orang mencari aktivitas menenangkan yang memadukan kreativitas dan ketelitian. Membuat sourdough memberikan keduanya.

Setelah pandemi mereda, tren tersebut tidak hilang. Banyak yang tetap melanjutkan hobi membuat sourdough, sementara toko roti artisan bermunculan dengan variasi resep dan gaya fermentasi masing-masing.

Di Eropa, muncul fenomena unik seperti perpustakaan sourdough yang menyimpan ratusan starter dari berbagai negara. Ada pula hotel sourdough di Swedia, semacam penitipan khusus bagi pembuat roti yang hendak berlibur tetapi tidak ingin starter mereka mati.

Di Indonesia, tren sourdough mulai populer sekitar tahun 2020. Berbagai bakery lokal seperti Levant, Maison Weiner, dan puluhan artisan bakery lainnya memperkenalkan sourdough kepada publik kota besar. Lone bread, komunitas pembuat roti rumahan, dan kelas-kelas workshop turut memperluas jangkauan tren ini. Kini roti berbahan dasar kultur alami itu bisa ditemukan di banyak toko roti premium hingga kedai kecil yang dikelola pembuat roti independen.

Sourdough tidak lagi menjadi roti eksklusif yang hanya dikenal di Eropa. Ia telah menjadi bagian dari budaya pangan global.(gus,ist/dya)

 

Share:
Lenterabandung.com.
Lenterabandung.com.